Aku dan Penyesalan

Loading

Bentakanku pada Rania membuat raut wajahnya terperangah, tangisnya terhenti, dia diam seakan membeku setelah mendengar bentakanku. Ya, ini kali pertama aku berbicara dengannya dengan nada yang cukup tinggi. Kami pun sama-sama terdiam, kemudian masuk ke kamar masing-masing.

Malam ini terasa lebih dingin dibanding hari-hari sebelumnya. Kosong nan sepi. Rasanya aku enggan menemui Rania. Egoku masih sangat membara, tidak mau mengajaknya berbicara lebih dulu, pun menyapa. Entah sampai kapan aku bisa meredam rasa ego juga kecewaku pada Rania.

Di tepi kasur kamar, aku berusaha menetralisasikan perasaanku. Apa yang sedang mengganggu pikiranku, hingga kata-kata dengan nada yang cukup tinggi itu terlontar kepada anak semata wayangku, Rania. Sikapku tadi mungkin berlebihan, tapi di sisi lain, aku juga pernah merasakan apa yang Rania kini lakukan. Hanyut dalam pikiran, hati kecilku pun mulai menerka-nerka penyebab munculnya api emosi di tengah dinginnya malam.

“Apakah kala itu aku terlalu buru-buru dan tanpa persiapan?” kataku di tengah kesunyian malam.

Ingatan masa lalu pun kembali mengusik pikiranku. Sekitar 25 tahun lalu, ketika usiaku menginjak fase antara remaja dan dewasa, aku memutuskan untuk menjadi teman hidup seorang laki-laki yang baru aku kenal.

Belum lama, baru empat bulan. Entah apa yang membuatku yakin untuk selamanya bersama laki-laki itu. Sederhana saja, bagiku, laki-laki itu adalah laki-laki pertama yang mengajakku serius tentang masa depan. Pun, dengan polosnya, aku menerima ajakan itu tanpa berpikir panjang.

“Yah, Bu.. ada sosok laki-laki yang mengajakku menikah. Usianya sekitar tujuh tahun di atasku, pekerjaannya pun sudah tetap, kok,” jelasku.

Reaksi mereka tak begitu mengagetkanku. Sudah terbayang diam mereka sebelum aku mengutarakan hal ini.

“Ayah, Ibu. Bagaimana menurut kalian?” tanyaku dengan hati berdebar-debar. Takut kalau-kalau hal ini terlalu buru-buru bagi mereka.

Satu menit.. dua menit… ruang tengah berukuran 5×5 meter dengan cat warna putih dan perabotan di dalamnya menjadi terlihat lenggang. Hening hingga beberapa menit. Ayah dan ibu hanya saling menatap dalam diam. Lalu ayah mengalihkan pandangannya ke aku dan membuka suara.

“Bagaimana denganmu sendiri, Nak? Apakah kamu sudah yakin dengan keputusan dan pilihanmu?” tanya ayah dengan nada lembut dan penuh kehati-hatian.

Pertanyaan ini cukup membuatku sedikit tersentak meskipun ayah menyampaikan kata-kata itu dengan pelan. Namun, sukses membuatku terkejut.

Baca Juga:  Badut, Jalanan dan Uang

“Apa yang harus dipertimbangkan? Menikah ya tinggal menikah saja, toh laki-laki pilihanku juga sudah memiliki pekerjaan yang tetap. Apalagi yang harus dipikirkan?” gumamku dalam hati sembari memperlihatkan wajahku yang mengernyitkan dahi.

“Lantas kuliahmu juga bagaimana?” sambung ibu.

Aku pun menjelaskan bahwasanya aku akan tetap kuliah setelah menikah, menyelesaikannya hingga wisuda. Baru setelah itu aku akan fokus pada kehidupan keluarga dan rumah tanggaku.

Ayah pun mengangguk kemudian berkata, “Ajak dia kemari, kita bahas ini secara lebih serius.”

Setelah mengiyakan ayah, dua hari kemudian aku mengajak laki-laki itu ke rumah, bertemu kedua orang tuaku. Perbincangan di ruang tamu kali ini cukup berat dan serius. Banyak pertanyaan-pertanyaan seputar keseriusan yang orang tuaku lontarkan pada kami.

Hingga akhirnya ibu bersuara, “Sudah mantap dengan pertimbanganmu?”

Dengan lantang dan mantap pun aku mengangguk dan berkata, “Ya, aku sudah yakin dengan pertimbangan dan konsekuensi nantinya.”

Laki-laki yang duduk di sebelahku juga mengangguk sembari memegang tanganku untuk lebih meyakinkan keputusanku.

“Kalau kalian sudah siap segalanya, ibu merestui kalian,” ungkap nenek Rania kala aku dan sosok laki-laki yang kini Rania sebut papa itu meminta izin untuk menikah.

Ketika itu yang dipikirkan olehku, segalanya adalah soal keyakinan dan cinta. Aku belum memikirkan bagaimana kehidupan rumah tangga yang sesungguhnya. Menikah bukan hanya menyoal cinta, justru itu bisa dibilang nomor kesekian. Hal fundamentalnya ialah mental dan finansial.

Kami pun akhirnya menikah di awal bulan November, bulan favoritku. Satu tahun pernikahan berlalu, masih baik-baik saja. Aku masih melanjutkan kuliahku. Masih bisa menghabiskan waktuku bersama teman-teman kuliah, suamiku pun mengizinkan dan mewajarkan bahwasanya aku masih di usia yang senang menghabiskan waktu bersama teman-teman. Namun, aku juga tidak melupakan posisiku sebagai istri di rumah.

Berjalan di tahun ketiga dan aku sudah lulus kuliah, mulai muncul percikan-percikan api. Masalah kecil pun menjadi besar karena kurangnya komunikasi. Meskipun begitu, pernikahan kami masih berjalan sesuai alur.

Hingga putri kami lahir dan tumbuh dewasa. Lambat laun rasa ingin kembali ke masa mudaku mulai muncul. Mempertanyakan mengapa secepat itu aku mengiyakan untuk menikah di usia yang tergolong masih belia. Kalau diingat-ingat, terbesit rasa menyesal dalam memutuskan sebuah nasib hidup dalam waktu sekejap mata.

Baca Juga:  Sang Pembunuh

Aku pun sering kali mengutarakan keresahan-keresahanku pada Rania. Bahkan aku sampai lupa kalau Rania masih remaja, bukan waktu Rania untuk mengertiku dan memahami masalah-masalah yang terjadi antara aku dan papanya.

Puncaknya di suatu malam, di mana aku dan Rania bertengkar cukup hebat, sedangkan papanya ada dinas di luar kota. Rania mengeluarkan semua isi hatinya yang tidak pernah kudengar sebelumnya. Baginya, aku tidak pernah mengerti dia.

“Mama bisa nggak, sih ngertiin Rania sekali-kali. Dengerin Rania. Nggak cuman mama doang yang butuh dingertiin, Rania juga butuh,” teriak Rania dengan isak tangis.

Aku yang awalnya tenang pun ikut terpancing dalam emosinya. Awalnya aku mengira Rania hanya emosi karena memang pada usianya. Hingga akhirnya kami beradu argumen sama-sama ingin di mengerti.

“Kamu itu masih kecil, masalah apa yang membuat kamu ingin di mengerti? Aku juga pernah di usiamu, aku dulu nggak gitu!” bentakku.

Tangis Rania pun semakin menjadi-jadi. Segala yang ada di hati Rania diluapkan. Aku pun tersentak ketika Rania menyuarakan isi hatinya, tentang bagaimana aku mendidik dia. Pikiranku jadi terbuka, aku memang selalu mengeluh pada Rania, tetapi mengesampingkan perasaannya.

Aku tidak pernah menyangka keluh kesahku selama ini akan mempengaruhi pola pikir Rania. Tetap dengan emosi, aku membentak Rania bahwa aku dulu juga seorang anak, bukan tiba-tiba menjadi seorang ibu. Sehingga aku butuh di mengerti.

Malam pun lenggang. Kami menata pikiran masing-masing. Aku mencerna kembali apa yang diutarakan oleh Rania.  Kalau boleh jujur, apa yang dikatakan Rania memang ada benarnya. Mentalku belum sepenuhnya siap untuk menghadapi masalah-masalah yang dihadapi dalam rumah tangga. Pun, aku juga tidak tau bagaimana cara mendidik seorang anak. Hanya bermodalkan kalimat, jalanin saja hidup yang ada.

Aku tidak tau keputusan yang ku ambil sepersekian detik kala itu akan berdampak sebesar ini dalam hidupku. Lambat laun aku menyadari, menikah bukan perkara mudah yang bisa diputuskan dalam waktu singkat. Banyak hal-hal yang memang harus dipertimbangkan juga dipikirkan kesudahannya.

Penulis: Safina Rosita Indrawati

Penyunting: Dilla Sekar

Persma Poros
Menyibak Realita