Penggusuran PKL Gondomanan Belum Temui Titik Terang

Loading


Polemik antara Pedagang Kaki Lima (PKL) Gondomanan dan Eka Aryawan berakhir pada eksekusi penggusuran lahan. Penggusuran lahan yang dimulai sekitar pukul 10.00 hari Selasa, 12 November 2019 tersebut sempat mengalami aksi saling dorong antara massa aksi yang menolak penggusuran dengan aparat kepolisian.

Sebelum penggusuran lahan dilakukan, Budi Prasetyo selaku Ketua Pengadilan Negeri Yogyakarta membacakan hasil surat keputusan terkait pengabulan gugatan Eka terhadap Sugiyadi (penjual bakmi), Sutinah (penjual nasi rames), Suwarni, Budiono dan Agung.

Dalam surat keputusan pengadilan tersebut, tertulis bahwa penggugat berhak mendapatkan izin tanah seluas 72 meter persegi secara hukum berdasarkan surat pinjam tanah milik Sri Sultan Hamengku Buwono. Pengadilan juga menetapkan tergugat terbukti telah melanggar hukum karena menggunakan tanah seluas 28 meter persegi yang dimiliki Eka atas hak guna dari Keraton Yogyakarta.

Hal tersebut menjadi alasan pihak pengadilan untuk melakukan eksekusi penggusuran lahan. Pengadilan juga memberi sanksi terhadap tergugat untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara ini sebesar Rp1.186.000.

Salah satu massa aksi bernama Wahyu mengatakan dalam orasinya, bahwa proses eksekusi penggusuran harus ditunda. Ia juga mengusulkan bahwa eksekusi penggusuran ini harus dihadiri panitikismo selaku pihak yang mengurusi lahan keraton.  “Tim hukum dari keraton, Pak Acil Budiana mengatakan kalau objeknya (ukuran lahan-red) belum jelas agar ditunda eksekusinya.”

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) menilai adanya error in objecto pada kasus ini, hal itu dikarenakan tidak adanya pengukuran lahan. Istilah error in objecto pada prinsipnya adalah kesalahan gugatan/dakwaan atas objek yang dipermasalahkan. “Kalau misalnya ada pengukuran kami bisa terima gitu, tetapi sampai sekarang tidak ada pengukuran,” jelas Budi Hermawan.

Baca Juga:  Mahasiswa Membela Rakyat Dihadang Aparat!

Sedangkan pihak Eka tetap berpendapat bahwa tanah yang dipakai PKL agar digusur dengan alasan lapak PKL menghalangi jalan ketika pembeli datang ke toko yang berada di belakang lapak PKL. Oncan Purba selaku Kuasa Hukum Eka mengatakan, bahwa penundaan itu sebenarnya tidak ada karena putusan sudah diputuskan oleh pengadilan. Ia juga menilai pihak keraton sudah terlambat jika memberikan tindakan untuk menunda, karena kasus ini sudah terjadi selama lima tahun.

Budiono dan Agung mewakili pihak tergugat mengaku pasrah jika lahan mereka digusur. Budiono menjelaskan bahwa pihaknya tidak mendapatkan penawaran dan langsung mendapat surat (kesepakatan bersama-red) dari pengadilan. Namun, surat  tersebut dinilai tidak sah, karena menurut Budiono surat itu ditandatangani oleh aparat kepolisian.

Pihak keraton telah memanggil pihak penggugat dan tergugat untuk bermediasi, tetapi Agung sangat menyayangkan karena pihak Eka tidak pernah hadir. ”Ya, itu ingin mempertemukan Pak Eka sama pihak PKL, tetapi Pak Eka kan ndak mau datang. Tahun 2017 kalau ndak salah,” tutur Agung.

Reporter : Apong, Kun, Luluh 

Penulis : luluh

Persma Poros
Menyibak Realita